Gayamedan.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Belawan, Sumatera Utara, menghentikan penuntutan perkara salah transfer dana senilai Rp121 juta setelah korban dan tersangka sepakat berdamai melalui mekanisme keadilan restoratif.
Kasus tersebut difasilitasi oleh Jaksa Fungsional Serli Dwi Warmi dan Bella Azigna Purnama di Rumah Restorative Justice Kejari Belawan, Selasa (24/6/2025).
Kejaksaan menilai perkara layak diselesaikan secara kekeluargaan, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif.
“Proses hukum bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi menyelesaikan konflik secara berkeadilan. Pendekatan restoratif adalah bentuk nyata dari hukum yang memulihkan,” kata Kasi Pidum Kejari Belawan, Yogi Taufik Fransis, Rabu (9/7).
Ia menjelaskan, perkara bermula pada April 2024 ketika korban, Chandra Ady Putra, mentransfer dana hasil pengumpulan uang dari sopir truk pengantar minuman ke rekening rekan kerjanya melalui aplikasi BRImo.
Namun karena kemiripan nama, dana justru terkirim ke rekening Iwan Chandra Hadinata, yang tidak dikenalnya. Total dana yang ditransfer mencapai Rp121.712.200 dalam dua kali transaksi pada 23 dan 24 April.
Setelah menyadari kekeliruan, korban melapor ke Bank BRI dan mengirimkan surat pernyataan salah transfer. Namun sebagian besar dana telah digunakan oleh penerima. Tersangka mengaku hanya menyisakan sekitar Rp13,9 juta.
Tersangka sempat menawarkan cicilan pengembalian, namun korban menolak karena tidak sesuai batas waktu yang diminta. Akibat tak tercapai kesepakatan, perkara dilaporkan ke polisi dan dilimpahkan ke Kejari Belawan.
Namun, Kejaksaan menilai perkara ini memenuhi unsur keadilan restoratif karena tersangka mengakui kesalahan, belum pernah dihukum, menunjukkan iktikad baik, serta telah mengganti seluruh kerugian korban.
“Perdamaian tulus telah dicapai. Korban memaafkan, dan tersangka telah mengganti kerugian. Ini menjadi syarat utama dalam penerapan keadilan restoratif,” ujar Yogi.
Ia menegaskan bahwa penghentian penuntutan ini bukan berarti mengabaikan aspek pidana, tetapi menjadi implementasi prinsip ultimum remedium bahwa pidana adalah langkah terakhir.
“Kami percaya, memulihkan hubungan sosial lebih penting daripada sekadar menjatuhkan hukuman. Ini adalah wujud humanisasi hukum yang mengedepankan kemanfaatan, keadilan, dan hati nurani,” pungkas Yogi.