GAYA MEDAN.COM-Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungbalai menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada Rahmadi dalam perkara kepemilikan 10 gram sabu-sabu.
Putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Karolina Selfia Sitepu itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Hakim menilai Rahmadi tidak mendukung program pemerintah memberantas narkotika.
Namun, majelis juga mempertimbangkan hal yang meringankan, di antaranya Rahmadi belum pernah dihukum dan menjadi tulang punggung keluarga.
Selain menjatuhkan pidana, hakim memutuskan tidak menyita handphone Samsung dan mobil Toyota Raize milik Rahmadi yang semula dijadikan barang bukti.
"Menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan," kata Karolina sambil mengetuk palu, Kamis (30/10/2025).
Baik jaksa maupun kuasa hukum Rahmadi menyatakan masih mempertimbangkan langkah banding.
Di luar ruang sidang, kuasa hukum Rahmadi, Thomas Tarigan, menyayangkan vonis itu. Ia menilai kliennya seharusnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah dan menjadi korban kriminalisasi oleh personel Unit I Subdit III Ditresnarkoba Polda Sumatera Utara yang dipimpin Kompol Dedi Kurniawan (DK).
"Hakim seharusnya memvonis bebas Rahmadi karena ia korban kriminalisasi," ujar Thomas.
Menurut Thomas, sejumlah fakta persidangan menunjukkan kejanggalan. Salah satunya, keterangan saksi polisi yang tidak konsisten soal lokasi penemuan barang bukti.
Ada pula kesaksian Mulkan Sahri yang mengaku menyaksikan sabu ditemukan di mobil Rahmadi saat penggeledahan di Jalan Arteri Tanjungbalai.
Namun Mulkan merupakan anak buah dari ayah Kompol DK, sehingga dinilai tidak layak menjadi saksi.
"Fakta itu diabaikan hakim, padahal jelas ada konflik kepentingan," kata Thomas.
Ia juga menyebutkan kejanggalan lain yaitu, barang bukti 10 gram sabu yang disebut milik Rahmadi diduga berasal dari perkara lain atas nama Andre Yusnijar dan Ardiansyah Saragih alias Lombek.
Dalam sidang, keduanya mengaku barang bukti mereka yang awalnya 70 gram berkurang menjadi 60 gram, sementara Rahmadi justru dituduh memiliki 10 gram sabu.
"Barang bukti itu dialihkan untuk menjerat Rahmadi. Andre dan Lombek juga mengaku tak mengenal Rahmadi dan tak pernah berkomunikasi dengannya," sebut Thomas.
Thomas menilai majelis mengabaikan pula pengakuan Andre dan Lombek yang menyebut mereka dipukul dan dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Dalam sidang mereka mengaku disiksa, tapi hakim menyebut mereka menandatangani BAP tanpa tekanan. Ini janggal," kata Thomas.
Oleh karena itu, tegasnya, tim kuasa hukum Rahmadi berencana melaporkan majelis hakim PN Tanjungbalai ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
"Rahmadi dijatuhi hukuman atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Ini bentuk ketidakadilan," tegas Thomas.
Kasus Rahmadi bermula dari penangkapan pada Senin malam, 3 Maret 2025. Warga Jalan SMU Negeri 3, Kelurahan Gading, Kecamatan Datuk Bandar, itu ditangkap tim yang dipimpin Kompol DK.
Dalam penangkapan itu, Rahmadi diduga dianiaya oleh sejumlah polisi. Rekaman CCTV yang memperlihatkan kekerasan tersebut viral di media sosial dan memicu kecaman publik.
Polisi tidak menemukan sabu di tubuh Rahmadi. Namun belakangan muncul barang bukti 10 gram sabu yang diklaim ditemukan di dalam mobilnya.
Perkara penganiayaan terhadap Rahmadi kini ditangani Ditreskrimum Polda Sumut. Selain itu, tim kuasa hukum juga melaporkan dugaan pencurian uang Rp11,2 juta dari rekening Rahmadi setelah ponselnya disita dan PIN M-Banking-nya diminta paksa oleh petugas.
Kompol DK sendiri telah dijatuhi sanksi demosi selama tiga tahun oleh Bidpropam Polda Sumut setelah dinyatakan bersalah dalam sidang etik pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Kasus Rahmadi menjadi cermin buram penegakan hukum di negeri ini ketika pencari keadilan justru harus menanggung hukuman atas dugaan pelanggaran yang belum tentu ia lakukan.(GM)
