GAYA MEDAN .COM- Empat orang terdakwa, yakni Lie Yung Ai (52), Herniati (59), Adi Pinem (60), dan Karim Tano Tjandra (DPO), didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan akta otentik yang menimbulkan kerugian pihak lain.
Terdakwa Adi Pinem, yang merupakan Notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sudah lebih dulu divonis majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan dengan hukuman 1,5 tahun penjara pada Juni 2025 lalu.
Sementara sidang tuntutan untuk dua terdakwa lainnya, yakni Lie Yung Ai dan Herniati, ditunda hingga 3 September 2025 karena surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum rampung.
Hal tersebut disampaikan JPU Randi Tambunan di hadapan majelis hakim yang diketuai Philip M. Soentpiet dalam persidangan di ruang Cakra Utama PN Medan, Rabu (20/8/2025).
“Tuntutan belum selesai, majelis hakim. Kemungkinan baru bisa dibacakan dua pekan lagi, tepatnya pada 3 September 2025,” kata JPU Randi Tambunan.
Majelis hakim kemudian menutup persidangan dan menjadwalkan sidang lanjutan pada 3 September 2025.
Pantauan wartawan, usai sidang kedua terdakwa langsung menghampiri penasihat hukumnya dan meninggalkan ruang sidang. Hal ini berbeda dengan sidang sebelumnya saat pembacaan dakwaan, di mana keduanya harus menggunakan kursi roda.
Menurut JPU Randi Tambunan, status penahanan kedua terdakwa kini sudah dialihkan.
“Sudah dialihkan oleh majelis hakim menjadi tahanan kota. Waktu masih menggunakan kursi roda memang dalam status tahanan, tetapi sekarang sudah wewenang hakim untuk pengalihan penahanan,” jelas JPU Randi Tambunan.
Sebelumnya JPU Randi Tambunan dalam surat dakwaannya menguraikan perkara ini bermula dari sengketa saham perusahaan yang kemudian berujung pada pembuatan akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) fiktif PT Permata Kharisma Indah (PT Perkharin).
Dalam berkas perkara, disebutkan bahwa pada September 2021 di Kantor PT Gunung Bangau, Medan Barat, terdakwa Herniati, S.H., bersama Karim Tano Tjandra (DPO) dan Lie Yung Ai dengan sengaja membuat Akta RUPS Nomor 46 tanggal 24 Mei 2002. Akta tersebut seolah-olah mencatat adanya perubahan susunan pengurus PT Perkharin, padahal rapat itu tidak pernah dilaksanakan.
Kasus ini berawal sejak tahun 2020 ketika Karim Tano Tjandra meminta Sonny Wicaksono (sudah divonis bersalah dalam perkara terpisah) untuk membantu menyelesaikan sengketa saham dengan Lintong Siahaan di PT First Mujur Plantation & Industry. Untuk memperkuat posisinya, Karim menyuruh terdakwa membuat akta perubahan pengurus PT Perkharin dengan tanggal mundur agar tampak sah secara hukum.
Atas permintaan tersebut, Herniati membuat Akta RUPS Nomor 46 yang mencantumkan Sonny Wicaksono sebagai Direktur Utama bersama jajaran pengurus lainnya. Padahal faktanya, akta itu baru dibuat dan ditandatangani pada September 2021 di Medan, bukan tahun 2002 seperti tertulis dalam akta.
Akta palsu tersebut kemudian dipakai Sonny Wicaksono untuk mengajukan gugatan perdata di PN Medan dengan perkara Nomor 16/Pdt.G/2022/PN.Mdn. Namun berdasarkan data resmi Kementerian Hukum dan HAM, susunan pengurus PT Perkharin yang sah adalah berdasarkan Akta Pendirian Tahun 2000 di bawah Notaris Myra Yuwono, dengan Direktur Utama Hendi Lukman.
Akibat perbuatan para terdakwa, Hendi Lukman dan PT Perkharin yang sah mengalami kerugian materiel berupa biaya operasional selama proses hukum serta potensi tuntutan hukum dari pihak ketiga.
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemalsuan surat otentik yang digunakan sebagai alat bukti dan menimbulkan kerugian pihak lain. (GM)